Perasaanku pada Pendamping Ayahku ...

Aku mengenalnya, semenjak beberapa tahun yang lalu. Seringkali kulihat semenjak masa kanak-kanak, dia bersama ayahku...

Awalnya, aku tidak terlalu tertarik dan menganggapnya biasa. Bagai hal yang tidak penting dan pantas diabaikan.

Dia terlihat begitu manis dan menarik. Namun, saat itu, sebagai anak kecil yang tidak tahu-menahu tentangnya, aku hanya terdiam dan hanya mampu menebak-nebak bagaimana dirinya.

Waktu terus berjalan bagai roda yang berputar, membawaku hingga kini. Melalui proses pendewasaan yang semanis gula dan juga sepahit obat. Aku semakin sering melihatnya, tatkala bersama ayahku. Dahulu, saat diriku masih polos bagai kertas putih yang kosong, aku hanya mampu menebak-nebak dan membuat pikiranku menjadi kalut. Kini, umurku sudah tiga belas tahun, umur seorang remaja yang keingintahuannya semakin besar.

Dia ada di dalam imaji-imaji liarku, hadir dalam setiap langkah hidupku, dan tak sedikit pun memberikan jeda pada pikiranku. Semakin aku menghindar memikirkannya, semakin aku malah mengingatnya. Mengapa aku seperti ini, Tuhan?

Suatu hari--tepatnya dua tahun yang lalu, di kala matahari begitu gahar menyengat, aku pulang dari sekolah. Meletakan sepatu dan tas, serta tak lupa berganti pakaian seragam dengan pakaian sehari-hari; berupa kaos oblong dan celana pendek.

Ayahku belum pulang dari kantornya, sedang mencari nafkah untuk membiayai keluargaku.

Aku berjalan menuju dapur, dan aku melihat dirinya sendirian di sana. Aku menatapnya, semakin lekat dengan pandanganku yang begitu tajam. Aku berjalan mendekat, mendekat, dan semakin mendekat. Jarakku dengan dirinya, sudah tak terlampau jauh lagi. Aku terdiam dengan ekspresi datar, tanpa senyum, apalagi tangisan.

Kutarik napas dalam-dalam, dan kuhembuskan secara perlahan. Dadaku sesak, namun, aku tak mampu menangis. Dia merupakan sesuatu yang istimewa bagi ayahku. Yang kutahu semenjak kecil, Ayah selalu menyentuhnya. Berdua dengannya di teras seraya membaca koran. Berdua di saat pagi sebelum aku berangkat sekolah. Serta, berdua di saat-saat lainnya--yang sekarang berputar di dalam memori otakku. Entah mengapa, aku ataupun seluruh keluargaku, tak pernah merasa terganggu, apalagi sampai marah. bahkan, kala itu, wanita yang paling dicintai Ayahku--Ibu--tak sedikit pun menyimpan iri maupun dendam.

Satu kesimpulan yang kudapat: Ayahku sangat mencintainya ...

"Ck!" decakku. Entah kesal ataupun perasaan lainnya, diriku sendiri pun tak tahu. Masih dengan dadaku yang sesak dan hatiku yang ngilu, aku terus menatapnya yang terdiam membisu.

Tanganku gemetar. Kuambil sebuah cangkir. Bukan untuk melemparnya--dan akhirnya mencelakainya. Justru, gelas itu untuk menampungnya.

Lalu, cangkir itu kuisi dengan bubuk kopi, cokelat bubuk, dan gula pasir. Kutambahkan air panas, kuaduk hingga rata. Kukocok whipping cream, dan kusemprotkan di atas kopinya. Kucampur dengan gula palem dan cokelat bubuk. Tak lupa, taburkan gula palem lagi di atasnya sesuai selera.

Aku mencicipinya--

--dan kusadari semenjak itu, AKU SANGAT MENCINTAIMU, WAHAI ... CAPPUCINO DOUBLE SUGAR! PENDAMPING AYAHKU DI SAAT SANTAI! 

Menemukan Sebuah Kebahagian Melalui Perumpamaan

Hai all! Entri ini copy paste, sumber kurang tahu.

Mungkin ada yang tahu? Silahkan kasih tau sumbernya. =)

Btw, chek it out! Sebuah renungan dari dapur.


Pada suatu ketika, seorang anak menangis dan mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia sudah menyerah dan tidak tahu lagi bagaimana menghadapinya. Ia sudah lelah untuk berjuang. Tiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru. Ayahnya yang seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api.


Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.


Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”. “Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si Anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”


Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak. Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.


“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?” Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”


“Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan maka hatimu menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?”


“Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”


“Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”